Minggu, 17 Mei 2020

Tugas Filsafat Islam 11 MEI 2020

JAKARTA, KOMPAS.com - Langkah Presiden Joko Widodo yang kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan di tengah pandemi Covid-19 menuai kritik.
Kebijakan itu juga dianggap melawan putusan Mahkamah Agung yang sebelumnya membatalkan peraturan presiden yang mengatur soal rencana kenaikan iuran BPJS.
Kenaikan iuran BPJS kali ini tertuang dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Beleid tersebut diteken oleh Presiden Joko Widodo pada Selasa (5/5/2020).
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan, kenaikan iuran ini demi menjaga keberlanjutan operasional BPJS Kesehatan.
"Sesuai dengan apa yang sudah diterbitkan, dan tentunya ini adalah untuk menjaga keberlanjutan dari BPJS Kesehatan," kata Airlangga.
Kesimpulan Berita :
Kesimpulan dari berita ini adalah, Presiden Joko Widododo mengubah keputusan mahkamah agung yang membatalkan kenaikkan iuran BPJS, dan tetap menaikkan iuran BPJS.
Komentar :
Yang menjadi masalaha adalah, Jokowi tidak memiliki kepekaan terhadap masyarakat disaat negara sedang kacau balau akibat pandemi, dimana perekonomian masyarakat Indonesia sedang melemah dan nyaris lumpuh, PHK dimana-mana kekurangan pangan semakin banyak dialami rakyat, darimana mereka semua akan membayar iuran yang bahkan mungkin jika tidak dinaikkan pun sudah memberatkan, apalagi sekarang dinaikkan?
Dalam hukum Islam, Pemimpin yang menyalahgunakan wewenang, membiarkan kezaliman, dan menelantarkan orang-orang yang tidak mampu, akan dibalas oleh Allah dengan kehinaan dan siksaan yang pedih. Oleh karena itu, para pemimpin umat Islam terdahulu selalu memikirkan tentang penderitaan rakyatnya karena merasa takut akan perbuatan dosa yang nanti akan dipertanggungjawabkan di sisi Allah.
Umar bin Khattab RA pernah ketakutan akan posisinya pada Hari Kiamat hanya karena mengkhawatirkan seekor keledai yang tak bisa makan. “Andaikan seekor keledai terjerembap di daerah Irak, niscaya Allah kelak akan menanyakan pertanggungjawabanku, mengapa engkau tidak meratakan jalannya?”
Waallahu'alam..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar